Darah Merah Dokter Hisbullah, Peluru dan Pena Jurnalistik
Oleh : Haidir Fitra Siagian
Tersebutlah seorang sahabat atau kakanda saya, yang
berprofesi sebagai dokter anestesi memiliki keahlian yang luar biasa. Bukan
hanya dalam bidang kedokteran, juga dalam bidang lainnya. Selain sebagai dokter
di berbagai rumah sakit di Makassar, penanggung jawab bidang anestesi, juga
mengajar di beberapa Fakutas Kedokteran, termasuk FK Unismuh Makassar.
Izinkan
pula saya mengemukakan bahwa beliau pun boleh dikatakan berprofesi sebagai
ustadz atau ulama, walau hampir tak pernah mengisi ceramah atau khutbah di
Masjid. Beliau memiliki pesantren di Kabupaten Barru jalan ke arah Soppeng. Bersama
dosen saya dari Universiti Kebangsaan Malaysia, kami pernah diajak nginap di
pesantren tersebut. Berada di kawasan pegunungan yang sejuk dan memiliki
pemandangan yang menyejukkan pelupuk mata, sejauh-jauh memandang.
Di pesantren ini, Pesantren Alam Indonesia, beliau membina
santri, belajar agama pun menghafal Qur'an. Boleh pula dikatakan bahwa
pesantren ini adalah pesantren internasional, karena seorang gurunya, guru
tetap, berasal dari luar negeri. Guru bahasa
Arab dari Sudan, Afrika Utara. Saya kira tidak banyak pesantren yang memiliki
guru tetap dari luar negeri. Beliau dengan biayanya sendiri mendirikan
pesantren tersebut, dengan harapan kelak nanti ada penerus agamawan yang dapat
mencerahkan umat.
Selain
itu, setiap saat jika ada musibah di negeri ini khusus di kawasan Pulau
Sulawesi, beliau termasuk dokter yang paling sibuk. Baru ada berita bencana, beliau
sudah sibuk koordinasi dengan teman-temannya. Berangkat ke lokasi bencana untuk
membantu sesama. Tak pernah memikirkan biaya. Jika tak ada biaya dinas, biaya
pribadi pun jadi. Tidak ada pesawat naik mobil pun jadi. Sebagai dokter, saya
yakin beliau kelebihan uang. Kelebihan uangnya ini dipakai untuk jalan yang
benar, di jalan kemanusiaan.
Misalnya
ketika musibah gempa bumi di Lombok Nusa Tenggara Barat dan musibah tsunami di Palu Sulawesi Tengah dua tahun lalu. Mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ini terjun langsung bersama
dengan teman-teman sesama dokter dari Universitas Hasanuddin dan perguruan
tinggi lainnya. Selama berhari-hari meninggalkan anak dan istri, juga sementara waktu meninggalkan pekerjaannya. Selesai membawa
misi kemanusiaan di Palu, dia meninggalkan hadiah untuk masyarakat Sulawesi
Tengah : sebuah pesantren yang menampung anak-anak korban bencana tsunami.
Saya
juga tahu bahwa ketika Rektor Unhas dulu, Prof Idrus Paturusi, tahun 2000an
memerlukan tenaga medis untuk dikirim ke Palestina, beliau termasuk orang
pertama yang menyatakan kesediaannya. Berangkat ke Palestina dan Afganistan
membawa misi kemanusiaan, mengobati sesama yang memerlukan pertolongan. Dapat diketahui
bahwa saat itu Palestina itu dalam suasana perang. Tak peduli peluru nyasar dan
bom yang mematikan menanti setiap saat. Bekerja di medan perang adalah resiko
yang sangat berat. Hanya dokter yang “merah” darahnya yang bisa bekerja dalam
keadaan demikian.
Dalam hal organisasi, saat ini beliau dipercaya sebagai Ketua Majelis Pembina Kesehatan Masyarakat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Saat Muktamar Muhammadiyah tahun 2015, beliau tak nyaman duduk manis di kursi tamu kehormatan. Saya melihat sendiri beliau pontang-panting dari satu pos kesehatan ke pos kesehatan lainnya di Lapangan Karebosi Makassar. Melakukan koordinasi antar petugas seksi kesehatan. Tak kenal lelah, membawa alat-alat kesehatan dalam tasnya, dijinjing kesana kemari, tak takut merasa malu.
Dalam hal organisasi, saat ini beliau dipercaya sebagai Ketua Majelis Pembina Kesehatan Masyarakat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Saat Muktamar Muhammadiyah tahun 2015, beliau tak nyaman duduk manis di kursi tamu kehormatan. Saya melihat sendiri beliau pontang-panting dari satu pos kesehatan ke pos kesehatan lainnya di Lapangan Karebosi Makassar. Melakukan koordinasi antar petugas seksi kesehatan. Tak kenal lelah, membawa alat-alat kesehatan dalam tasnya, dijinjing kesana kemari, tak takut merasa malu.
Satu
lagi keahlian kakanda ini adalah keahliannya dalam membuat berita. Meskipun
setiap saat berkecimpung dalam bidang kesehatan pun mengajar mahasiswa calon dokter,
tapi naluri jurnalistiknya juga amat tinggi. Sebagai dosen jurnalistik, saya kadang merasa malu kepadanya. Setiap saat kita bisa membaca
laporannya dalam media sosial, baik dalam bentuk tulisan maupun video. Baginya,
membuat laporan tentang suatu peristiwa yang dialami dan bermanfaat untuk sesama
adalah bagian dari ibadah.
Melalui
laporan tersebut, warga tahu apa yang sedang terjadi. Tentu laporan tersebut terkait dengan bidang kesehatan dan kemanusiaan yang beliau geluti. Laporan yang tentu banyak gunanya. Sama halnya dengan tujuan seorang jurnalis yang menulis berita;
sebagai informasi, hiburan, pendidikan, kritik sosial, pun bisa jadi saluran
komunikasi politik. Namun demikian, satu dua laporannya memang berbeda. Ada kalanya
pedis dan menyayat hati. Bahkan ada yang berbeda dengan keinginan sejumlah
pihak.
Tak
jarang terdapat sejumlah kalangan yang menilai laporannya terlalu mengeluh,
berlebihan atau "kajili-jili". Saya membaca tanggapan khalayak di
media sosial. Misalnya ada yang mengatakan “dokter itu memang tugasnya
kemanusiaan, bukan mencari uang”. “berhenti saja jadi dokter, nanti saya
gantikan”. Dan berbagai komentar negatif lainnya. Tapi itu tak membuat beliau surut dan
pantang menyerah. Beliau yakin bahwa laporan yang disampaikan kepada masyarakat,
adalah benar dan diyakini bisa membawa manfaat yang besar.
Justru
laporannya sering menghentak banyak pihak. Misalnya saat musibah bencana
tsunami, yakni tentang mayat-mayat di rumah sakit yang saat itu belum terurus. Setelah
laporannya viral dan sampai kepada pengambil kebijakan, barulah diurus.
Beberapa hari ini, beliau selaku dokter yang paham tentang wabah coronavirus selalu meminta khalayak untuk tinggal di rumah. Untuk
mengurangi penyebaran virus ini.
Sebagai dokter anestesi juga turut bertanggung jawab di rumah sakit dalam rangka menangani wabah global ini. Bahkan boleh dikatakan dia merupakan salah satu tulang punggungnya. Sehingga beliau sering melaporkan di rumah sakit tentang kekurangan alat kesehatan bagi tenaga kesehatan dalam rangka menangangi wabah ini.
Sebagai dokter anestesi juga turut bertanggung jawab di rumah sakit dalam rangka menangani wabah global ini. Bahkan boleh dikatakan dia merupakan salah satu tulang punggungnya. Sehingga beliau sering melaporkan di rumah sakit tentang kekurangan alat kesehatan bagi tenaga kesehatan dalam rangka menangangi wabah ini.
Tentu laporan tersebut harus dinilai dari kacamata
positif. Sebagai sarana komunikasi sosial bahkan bagian dari komunikasi politik
terhadap elit politik. Sebab jika para tenaga medis tidak memiliki perlengkapan
yang memadai, tentu itu bisa berakibat fatal. Bukan hanya untuk mereka sendiri,
pun bagi khalayak ramai. Bukan tugas mereka mencari dan menyiapkan alat
kesehatan. Pimpinan atau pengambil kebijakan di negeri inilah yang harus
bergerak. Sebab laporan dalam media sosial, saat ini, bisa menjadi penyambung aspirasi yang efektif dalam berkomunikasi dengan berbagai pihak.
Selamat
bekerja kakanda Dokter Hisbullah Amin. Doa kami menyertai. Semoga sentiasa
dalam redha Allah Swt.
Keiraville, 21.03.30
Keterangan foto : bersama dokter Hisbullah (baju putih) sesaat setelah bersama Prof. Normah Mustaffa dari UKM tiba di Pondok Pesantren Alam Indonesia Barru, Juli 2018 lalu.
Keterangan foto : bersama dokter Hisbullah (baju putih) sesaat setelah bersama Prof. Normah Mustaffa dari UKM tiba di Pondok Pesantren Alam Indonesia Barru, Juli 2018 lalu.
0 Comments