Kali ini, Mutiara dari Malino
Oleh : Haidir Fitra Siagian
Masih dalam perjalanan pulang setelah memantau mahasiswa yang sedang KKN di Kecamatan Sinjai Timur, saya balik ke Makassar lewat jalur tengah, Malino. Dimulai dari Tondong, Sinjai Tengah, Sinjai Barat hingga masuk ke Kabupaten Gowa di Kecamatan Tombolo Pao, terus menyusuri jalanan berkelok sampai ke Kota Bunga, Malino.
Sedikit lagi masuk sore hari kami singgah di Malino, setelah menempuh perjalanan lima jam sebelumnya. Malino adalah ibu kota Kecamatan Tinggi Moncong. Berada di daerah pegunungan dengan cuaca yang sejuk juga kadang dingin terutama subuh hari. Banyak bunga dan tanaman sayur. Juga kebun teh, markisa, kentang dan lain-lain. Sepanjang mata memandang akan kelihatan tanaman bawang panjang atau bawang perei. Bawang ini biasa dipakai sebagai bumbu coto dan martabat, juga sop saudara. Disamping itu, hamparan kebun penduduk, pegunungan yang menjulang tinggi, dan gemercik air terjun, menambah pesona alam Indonesia ini.
Pada masa perang kemerdekaan, sempat ada pertemuan pemerintah Indonesia dengan Belanda di kota ini. Dalam pendidikan sejarah perjuangan bangsa, dikenal dengan istilah Perjanjian Malino. Awal tahun 2000an, kota ini juga dipakai sebagai tempat pertemuan menyelesaikan konflik di Ambon dan Poso. Kala itu, Sekjen MUI Pusat Prof. Din Syamsuddin hadir sebagai tokoh agama. Saya tahu, karena saya sempat telepon beliau melalui petugas resepsionis Hotel Celebes, untuk satu hal urusan Muhammadiyah. Dimana saat itu belum ada jaringan telepon seluler sampai ke sini.
Sebenarnya saya sudah seiring ke kota yang sangat digandrungi anak muda ini untuk rekreasi. Baik untuk urusan kantor, organisasi maupun keluarga. Pernah juga bakti sosial dengan ustadz Amiruddin Bakri, S.Ag., sekitar tahun 2009 dibantu adik-adik IMM Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Tapi baru kali ini saya betul-betul menemukan satu mutiara yang indah. Selain indah, juga mempesona nan menawan. Pun sulit untuk dilupakan hingga perlu dinarasikan dalam bentuk cerita.
Di warung pinggir jalan sebelah kanan tak jauh dari pohon pinus, kami singgah makan siang jelang sore. Berempat kami pesan ayam goreng. Potongan ayam sangat besar, tak dapat dihabiskan hingga dua potong dibungkus bawa pulang.
Rupanya saya sudah pernah singgah makan di warung ini bersama nyonyaku, adinda Nurhidayah Muchtar serta adinda Nasrullah. Sekitar dua tahun lalu, saya mendampingi istri tercinta melakukan penelitian tentang kematian ibu hamil di Puskesmas Tamaona. Dimana menuju lokasi penelitian tersebut mesti melewati kota ini.
Walau tak sengaja memilih warung, saya kenal karena di dalamnya ada lambang Persyarikatan tertempel dalam bentuk stiker pada dinding kaca. Islam Agamaku, Muhammadiyah Gerakanku. Demikian bunyi stiker tersebut lengkap dengan gambar matahari bersinar berwarna hijau.
Setelah menyelesaikan urusan dengan kasir, saya keluar dari warung. Jalan kaki sekitar dua ratus meter ke arah pohon pinus. Tak sengaja bertemu dengan seorang kader IPM, atas nama Hera Suhera. Dia saya kenal cukup baik dan penuh dedikasi sebagai master of training TM 1 IPM Cabang Malino beberapa waktu lalu dimana putriku ikut sebagai peserta. Ikut pula putranya pak Ilham Hamid, pengurus BKPRMI Sulsel dan Ujas Tour Umrah dan Haji.
Sementara kami ngobrol di pingggir jalan, seorang ibu tua tanpa jilbab datang dari warung tempat kami makan. Dia berjalan pelan namun partai menuju tempat kami berdiri. Sekitar seratus meter dari warungnya. Saya sedikit khawatir, ada apa? Apakah ada yang kurang dari pembayarannya ataukah dia kehilangan sesuatu, ataukah dia ingin menanyakan sesuatu kepada saya.
Semakin dekat semakin khawatir saya. Rupanya inilah mutiara yang indah yang saya maksudkan. Si ibu bertanya, berapa kembalian uangnya nak? Saya tidak tahu bu, karena tadi begitu menerima kembalian saya tak hitung dan langsung masukkan dalam celana.
Ini masih ada dua puluh ribu katanya. Tadi saya tanya kasir, berapa dikembalikan. Lima puluh empat ribu katanya. Itu masih kurang. Harusnya kembali adalah Rp 74.000,00. Karena biaya makan hanya Rp 126.000,00, jelasnya sambil menyerahkan dua lembar sepuluh ribuan yang sudah mulai kusut.
Bergetarlah hati ini atas kejujuran dan komitmen sang ibu tua pemilik warung ini. Dia mengembalikan uang kepada pembeli di warungnya, karena merasa itu bukan haknya. Tentu ini adalah sikap yang sangat terpuji dan sesuai dengan nilai-nilai Islam dalam bermuamalat.
Selain itu, sebagai pemilik warung, dia harus mengontrol kerja anak buahnya. Jika ada kekeliruan harus segera dibenarkan dan diperbaiki. Bukan dibiarkan dan dianggap tidak apa-apa. Sekali lagi ini bukanlah persoalan uang yang dua puluh ribu.
Melainkan persoalan hati nurani yang tidak mungkin ternilai dengan rupiah. Perbuatan yang jujur dan ikhlas dilakukan. Bukan takut kepada hukum manusia. Lebih dari itu adalah pertanggungjawaban moral dunia akhirat. Walaupun sepintas lalu tidak terlalu istimewa akan tetapi sudah cukup menjadi teladan dan inspirasi bagi sesama.
Wassalam
Bakung, 23.03.2019 ba'da Isya.
Catatan, tulisan setahun lalu.
0 Comments