Aipda Nurman, S.Sos., Polisi Terbaik di Dunia
Sebelum kembali bertugas di Mamuju, saya sudah mendengar adanya musibah banjir di ibu kota provinsi termuda di Pulau Sulawesi ini. Saya juga mendengar aktivitas adik-adik yang tergabung dengan posko AMM membuka dapur umum untuk membantu korban banjir, termasuk membagikan pakaian layak pakai kepada mereka yang membutuhkan. Enam hari lalu, ketika akan berangkat ke sini, saya sempat berniat membawa pakaian layak pakai untuk korban banjir. Entah karena apa, saya lupa membawanya.
Ketika tiba di Mamuju untuk sebuah tugas negara, saya menerima pesan melalui media sosial dari nyonyaku, bahwa musibah banjir di sini telah memakan empat orang korban. Dia juga meneruskan rekaman video dari teman sejawatnya di Mamuju, yakni beberapa peristiwa banjir itu, antara lain beberapa mobil sudah mulai tenggelam, proses evakuasi dari rumah penduduk oleh aparat kepolisian, rumah derasnya air banjir yang menghanyutkan perabot rumah tangga, serta kulkas dalam sebuah rumah yang terbalik karena banjir. Esok harinya, nyonyaku mengirim lagi pesan. Selama di Mamuju memang saya tak sempat ikuti berita, bahkan telepon genggam saya matikan dan hanya sekali-kali membuka pesan dalam WA. Nyonyaku menceritakan bahwa salah seorang yang meninggal dunia itu adalah seorang anggota kepolisian. Saya mengucapkan innalillahi wainna ilaihi rajiun.
Sampai dia menceritakan bahwa polisi yang meninggal dunia adalah ketika sedang membantu menyelamat warga. Di sinilah mulai merinding bulu romaku. Seseorang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk menyelamatkan jiwa dan raga orang lain. Suatu pengorbanan yang luar biasa dimana tak banyak orang yang mau melakukannya, meskipun dia seorang aparat yang bertugas mengayomi masyarakat. Berbeda dengan pak polisi ini, Aiptu Nurman, S.Sos., terjun langsung ke medan banjir menyusuri deras air banjir untuk membantu menyelamatkan jiwa orang lain. Tentu tanpa diduga, pak polisi ini tertimpa reruntuhan bangunan milik perusahaan penjualan mobil yang sangat terkenal baik di Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Barat.
Kemarin dulu, ketika nyonyaku datang bersama anak-anak menyusul ke Mamuju karena ada libur panjang, saya sudah ajak dia untuk melayat ke rumah pak polisi. Saya bilang harus ke rumah pak polisi, menjenguk istri, anak-anak dan keluarga yang ditinggal. Salah memilih ke rumah pak polisi ini karena pak polisi ini meninggal dunia karena panggilan jiwa kemanusiaannya, dalam rangka menyelamatkan jiwa orang lain. Dia adalah gugur dalam mengemban tugas negara dan layak diberi gelar pahlawan.
Kemarin adalah tugas terakhir saya di Mamuju. Saya sudah mencoba mencari waktu untuk berkunjung ke rumah pak polisi. Ternyata tak sempat, karena pekerjaan sampai habis magrib baru selesai. Tiba di kamar hotel sudah capek dan langsung tertidur. Sampai tadi siang menjelang pulang, saya lupa, atau hampir tak ingat lagi niat saya tersebut.
Lago atau suaminya adik ipar saya yang menjemput kami untuk dibawa ke Malunda, melewati jalan raya, poros Kota Mamuju. Kami melewati beberapa anak muda sedang memasang tenda di depan sebuah rumah. “Itu rumah polisi yang meninggal” kata lagoku tanpa ditanya. Spontan saja saya minta berhenti dan mengajak istri langsung masuk ke rumah duka. Masih ada beberapa karangan bunga terpajang di depan rumahnya. Kami memasuki rumah dengan mengucapkan salam. Ada ibu, tanya nyonyaku, kepada seorang anak muda yang menyambut kami di pintu. Ada silahkan masuk, katanya. Kami pun masuk dan duduk melantai di atas karpet yang saya duga belum digulung sejak peristiwa itu.
Agak lama juga menunggu, karena tuan rumah sedang menyusui bayinya. Akhirnya sang ibu datang bersama banyinya. “Ini anak ketiga almarhum, baru dua bulan katanya”. Hati ini serasa teriris sembilu. Bapak masih muda, usia 37 tahun, jelas ibu berjilbab hitam ini. Walau tanpa ditanya, sang ibu ini banyak bercerita kepada kami. Dia menjelaskan bahwa pada hari itu juga, suaminya, dibawa ke rumah sakit Mamuju. Oleh pihak rumah sakit dirujuk ke Makassar. Saya tak bisa ikut mengantar, karena masih ada bayiku ini, sesalnya. Barulah esoknya saya datang naik pesawat ke Makassar, tambahnya. Masih sempat satu malam kami bersama di rumah sakit, lirinya dengan air mata yang sudah mulai bercucuran. Ternyata Allah Swt mengendaki lain, katanya.
Tak lama kemudian kami mohon diri. Sebenarnya si ibu ini heran lalu mempertanyakan, siapa kami? Saya bilang saya dengan nyonya dari Makassar. Kami mengajar di UIN Alauddin Makassar, sambil menyerahkan kartu namaku. Saya sedang tugas negara di sini, melalukan seleksi calon Anggota KPU Provinsi Sulawesi Barat, kataku. Kami ke sini karena mendengar ada musibah yang ibu alami. Kami datang untuk sekedar membantu dan menyatakan duka cita, semoga keluarga, semoga diberikan kesabaran dan ketabahan. Walaupun kita tak saling mengenal, tetapi sesungguhnya kita adalah bersaudara. Saudara seiman, sebangsa dan setanah air. Amiin.
Wassalam
Malunda, 300318 ba’da Ashar
Haidir Fitra Siagian
Dosen UIN Alauddin Makassar
Catatan, artikel ini ditulis dua tahun lalu ketika masih bertugas sebagai anggota Timsel KPU Sulbar
0 Comments