About Me

Atas Nama Ayahandaku, Sesama Alumni IMM Unhas Makassar Reuni di Polonia Medan


Atas Nama Ayahandaku, Sesama Alumni IMM Unhas Makassar Jumpa di Polonia Medan
Tepat pada tanggal yang sama dengan hari ini sepuluh tahun yang lalu, sore hari saya mendarat di Bandara Internasional Polonia Medan. Bandara terbesar di pulau Sumatra sebelum pindah beberapa tahun kemudian ke Kuala Namu. Betul saya orang Batak Sumatera Utara, tetapi inilah pertama kalinya saya datang atau melihat bandara ini.

Pertama kali saya mendengar nama Polonia adalah sekitar tahun 1980/1981. Saat itu, Ompungku berdua Djabolon Pakpahan (mantan pejuang kemerdekaan RI dan mantan Kepada Desa Panggulangan puluhan tahun) dan Ompung menek Boru Harahap, pergi dan pulang dari Tanah Suci Mekkah. Ibuku ikut mengantar dan menjemput di Bandara Polonia. Cerita ibu inilah yang pertama kali saya dengar nama Polonia. Waktu itu, saya masih kelas satu SD Negeri 4 Sipirok.

Sebagai tambahan, setelah Ompungku pulang dari Tanah Suci, namanya berganti menjadi Haji Ali Akbar Pakpahan. Sebenarnya artinya hampir sama. Djabolon dari kata "bolon", artinya besar. Sedangkan, "akbar" dari bahasa Arab, artinya juga besar.

Hingga bertahun-tahun lamanya, saya tidak pernah ke bandara ini. Saya dulu berangkat merantau ke Makassar tahun 1990 dan mudik berkali-kali ke Sipirok, selalu naik kapal laut, baik ke Pelabuhan Sibolga, Belawan, atau Dumai. Biasa juga naik bus ALS dari Yogyakarta sampai ke Duri, jika saya ada urusan dinas atau kegiatan organisasi di Pulau Jawa. Jadi waktu itu, sama sekali, tidak pernah naik pesawat dari dan ke Polonia.

Itulah sebabnya, bagi saya, Polonia dan Medan saat itu, boleh dikatakan amat sangat asing bagi saya. Asing bagaikan hutan belantara, yang begitu gelap bagi saya. Padahal itu adalah bagian dari kampung halamanku. Ke Medan pun dulu saya jarang ikut. Pernah satu kali waktu menemani ibundaku belanja pakaian-pakaian dan barang dagangan ke Medan Plaza. Itupun pergi pulang dari Sipirok hanya sehari, naik bus Bintang Utara. Tidak pernah jalan-jalan kesana-kemari. Padahal di Medan cukup banyak famili maupun sanak saudara kami. Baik dari pihak ayah terlebih lagi dari pihak ibu. Ompungku pernah bilang, jika kamu pergi ke mana-mana, ada marga Pakpahan, itu adalah famili kita.

Saya ingat ketika menemani ibu berbelanja barang-barang dagangan di Medan Plaza, sebagian besar kami masuk ke toko-toko atau kios-kiosnya orang keturunan Cina. Saya senang setiap masuk ke toko Cina, selalu diberikan miniman botol, baik sprite maupun coca-cola. Tampaknya mereka sudah kenal dengan ibuku, karena hampir tiap bulan dari ke sini berbelanja.

Saya tiba di Bandara Polonia Medan sore hari, sekitar pukul 3 jelang Ashar. Saya berangkat dari Bandara Internasional LCCT Kuala Lumpur, dengan pesawat Air Asia pukul 3 sore pula. Berangkat pukul tiga dan tiba pun pukul tiga. Jarak tempuh selama satu jam. Hampir satu jam pula urusan imigrasi dan lain-lain, baru bisa keluar dari pintu ketibaan.

Saya harus pulang ke Sipirok pada masa itu, karena ayahandaku Muhammad Dollar Siagian, baru saja pulang ke rahmatullah, lima hari sebelum, 12 Maret 2011. Melalui sambungan telepon, saya sudah minta izin kepada ibunda, tidak bisa datang segera ketika ayah meninggal karena satu dan lain hal, dan berjanji akan datang dalam waktu secepatnya. Dan lima hari kemudian, saya baru bisa pulang ke Sipirok.

Sebenarnya beberapa minggu sebelum ayahanda meninggal dunia, kami sudah sempat bertemu. Awal bulan Februari 2011, saya sengaja datang ke Sipirok untuk bertemu dengan keluarga. Saya datang dari Malaysia karena saat itu perkuliahan saya di UKM sedang liburan Imlek. Saya tidak mengira jika kedatangan saya ke Sipirok kali itu, adalah merupakan kali terakhir saya akan bertemu dengan ayahanda.

Saya sangat berterima kasih kepada teman-teman sesama pelajar Sulawesi Selatan yang sedang mengambil program doktor di UKM. Begitu ada kabar ayahku meninggal dunia, mereka langsung mengucapkan duka cita dan mengumpulkan dana sosial atau biasa kalau di Sipirok sebagai "durung-durung". Sekretaris IMSSIMA waktu itu, Basti Teteng dan Pak Gasmin Garim, membantu saya mencari tiket pulang dan memberikan fasilitas lainnya.

Karena merasa Kota Medan masih asing bagi saya, maka saya berusaha mencari teman yang bisa membantu. Baik menjemput di Bandara maupun mengantar ke terminal atau stasiun bus yang akan ke Sipirok.

Akhirnya, saya mencoba menghubungi teman asal Makassar yang bertugas di Medan. Namanya dr. Andi Afdal Abdullah. Saat itu dia memegang jabatan penting di PT. Askes wilayah Sumatra, sekarang berubah menjadi BPJS. Selain sebagai temanku, dia juga merupakan senior dari nyonyaku. Kami sama-sama alumni IMM Universitas Hasanuddin Makassar. Satu organisasi kemahasiswaan di bawah kendali Muhammadiyah yang baru saja berulang tahun Ke-57 kemarin. Dia dari Fakultas Kedokteran, saya dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Ketika saya masih ketua komisariat, dia menjadi ketua koordinator komisariat.

Saat pertama kali kami mengadakan Darul Arqam Dasar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Fisip Unhas tahun 1995 di Masjid Ta'mirul Masajid Jl. Banda Lr. 203 No. 5 Kecamatan Wajo Makassar, beliau datang memberikan kata sambutan. Saya ingat, beliau sempat mengoreksi kalimat dalam tema yang tertulis dalam spanduk kegiatan. Apa yang dia koreksi itu, saya tidak ingat persis lagi. Pernah juga kami undang beliau menjadi tenaga media dalam acara sunnatan massal saat Bakti Sosial IMM Fisip Unhas tahun 1996 di Dusun Kappang Desa Labuaja Kecamatan Camba Kabupaten Maros. Dia datang bersama dengan beberapa Immawati dari Fakultas Kedokteran Unhas. Tugas utama mereka adalah menyunnat atau mengkhitan anak-anak desa yang menjadi peserta bakti sosial tersebut.

Sebelumnya, kepada beliau lewat sms saya beritahu bahwa saya akan ke Sipirok melalui Medan. Langsung dia respon dengan sangat antusias. Alhamdulillah, setiba di Polonia, beliau berkenan menjemput.

Saat tiba di Polonia, beliau sudah menunggu. Karena nomor hapeku masih pake nomor Malaysia, kami sempat tak bersua. Namun akhirnya bertemu juga karena saling mencari. Lalu dia menanyakan, jam berapa berangkat ke Sipirok. Saya bilang jam tujuh malam. Adakah ada pesawat ke Sipirok, kalau ada naik pesawat saja, katanya. Setahu saya ada pesawat kecil ke Bandara Aek Godang, sekitar 30 km dari Sipirok, tapi tidak tiap hari. Setelah dicek jadwal ke Aek Godang, masih menunggu hingga lusanya.

Dia bilang kita pergi makan dulu. Kami naik mobil sedan, lupa saya mereknya. Pokoknya sedan mewahlah. Itu adalah salah satu mobil mewah yang pernah saya naiki sepanjang sejarah hingga kini. Kepada Pak Sopirnya, dia bilang kita ke restoran yang biasanya. Hampir satu jam kami berada di restoran itu, cerita tentang banyak hal. Menjelang jam tujuh malam, dia mengantar saya ke stasiun Simpati, taxi yang akan membawa saya ke Sipirok. Jaraknya dari Medan sejauh 378 km dengan waktu tempuh waktu delapan hingga sepuluh jam.

Ternyata taxi berangkatnya jam delapan malam, karena masih menunggu penumpang lain. Dalam perjalanan jelang Subuh, pak sopir taksi, menghentikan mobilnya. Katanya sudah masuk waktu Subuh, singgah salat dulu, sambil menunjukkan satu surau tanpa lampu di belakang warung. Si sopir sendiri langsung masuk warung, tampaknya mau ngopi atau merokok. Saya tidak tahu dimana lokasinya. Mungkin sekitar sejam lagi sebelum tiba di Sipirok.

Alhamdulillah, saya tiba di rumah, Kelurahan Hutasuhut, sekitar jam tujuh pagi. Saya menemui ibunda yang tidak bisa tidur sepanjang malam. Detik demi detik, menunggu kedatangan saya. Hampir setiap saat, beliau menyuruh adikku meng-sms, menanyakan sudah dimana posisiku. Sms terakhir saya tidak balas lagi karena baterai hape sudah habis.

Setelah sarapan pagi, ibu mengajak saya melihat kuburan ayahanda. Jaraknya kurang satu kilometer dari rumah. Lokasinya di Desa Pangurabaan, tidak jauh dari rumah orang tua seorang pahlawan nasional asal Sipirok, Professor Lafran Pane, pendiri HMI. Di lokasi kuburan ini, pun telah lebih dulu didiami oleh para keluarga kami. Termasuk kakek dan nenek dari ayah, pun abang kandungku, Fahruddin Siagian, yang meninggal dunia dalam usia balita tahun 1970-an.

Lalu kami kembali pulang ke rumah. Pas tiba di rumah saya membongkar barang bawaan dari Malaysia. Saya sempat membeli beberapa produk asli Malaysia tapi bahannya sebagian dari Indonesia. Seperti milo dan teh tarik. Begitulah kita orang Batak, kalau pulang dari rantau, harus bawa oleh-oleh. Karena keluarga dan tetangga sudah datang menjenguk menunggu pembagian.

Selain oleh-oleh, kuserahkan pula kepada ibunda "durung-durung" dari teman-teman pengurus IMSSIMA. Karena masih berbentuk Ringgit Malaysia, ibu bilang: "lalu mai amang, ihomai". Sudah sampai itu Nak, tapi biarlah bawa untukmu. Sebab tak mungkin belanja dengan Ringgit di Sipirok.

Selain itu, saya juga menyerahkan titipan dari teman yang kemarin sore menjemput saya di Polonia. Sesaat sebelum kami berpisah di stasiun Simpati tadi malam, beliau menyerah selembar amplop tebal. "Ini ala kadarnya, Fit, kasikan ibu ya" katanya setengah berbisik. Saya sengaja tak buka, tak tahu berapa jumlahnya. Begitu ibu buka, ternyata lembaran-lembaran merah. Alhamdulillah.

Beberapa minggu lalu, teman yang baik hati ini, saya lihat fotonya bersama dengan Pak Presiden RI di Istana Negara. Beliau baru saja dilantik sebagai salah seorang direksi pada satu badan urusan negara yang bergerak di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan. Selamat menjalankan amanah umat, bangsa dan negara. Sekalian saya juga mengucapkan sekali lagi atas lembaran-lembaran merah untuk ibunda sepuluh tahun lalu.

Wassalam
Haidir Fitra Siagian
Fairy Meadou, 16.03.21

 

Foto : indocropcirles.wordpress.com

 


Post a Comment

0 Comments

close