About Me

Kesaksian Abdul Latif tentang Ketawadukan Kiai Nas (In Memoriam Drs. K.H. Nasruddin Razak)

 Kesaksian Abdul Latif  tentang Ketawadukan Kiai Nas
(Mengenang Alm. Drs. K.H. Nasruddin Razak)
Oleh : Haidir Fitra Siagian

 

Kita kembali kehilangan orang pintar. Dalam tahun ini, dua orang ulama kharismatik, penerus risalah Nabi diangkat kembali ke hariban-Nya. Tiga bulan lalu, umat Islam Sulawesi Selatan pada khusus telah kehilangan seorang ulama besar, AGH Sanusi Baco. Pada hari ini (Jumat, 6 Agustus 2021), kembali masyarakat Sulawesi Selatan berduka lagi. Kehilangan seorang ulama atau kiai yang tawaduk, mumpuni dan penuh dedikasi mendidik juga mencerahkan umat.

Beliau adalah Drs. K.H. Nasruddin Razak, yang lahir Rappang Kabupaten Sidrap, 85 tahun lalu. Almarhum merupakan mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan purnabakti dosen pendidikan Agama Islam Universitas Hasanuddin. Dalam catatan penulis, pada zamannya (1960-1976), almarhum juga pernah menjabat sebagai Ketua HMI Yogayakrta, Koordinator Badko Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jawa Tengah dan DIY, pun dosen Universitas Diponegoro Semarang. Ketika tinggal di Semarang tahun 1970-an,  pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah Jawa Tengah. Jabatan terakhir hingga akhir hayatnya adalah Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Selatan, dimana sebelumnya AGH Sanusi Baco selaku Ketua Umum.

Sebagai seorang ulama, Kiai Nas, telah menjalankan tugasnya dengan baik, ikut serta melanjutkan risalah Nabi ke persada bumi pertiwi. Menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Sebagai seorang ulama, beliau adalah orang yang memiliki ilmu agama dan pengetahuan serta wawasan yang luas. Yang dengan  pengetahuannya,  membuatnya  memiliki rasa takut dan patuh kepada Allah Swt. Sedangkan dengan  wawasan luas, maka ia turut  mengambil peran aktif di tengah-tengah masyarakat. Ini sejalan dengan pandangan Quraish Shihab (2011) bahwa yang dinamakan ulama adalah mereka yang memiliki pengetahuan tentang agama, fenomena alam dan sosial, asalkan pengetahuan tersebut menghasilkan khasyah.

Penulis sempat mendampingi almarhum Kiai Nas selama hampir lima belas tahun sejak tiba di Ujung Pandang, merantau dari Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, Juli 1990. Sejak itu menjadi staf pada kantor  Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Saat itu pula, almarhum menjabat sebagai Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, mendampingi almarhum KH. Djamluddin Amien, sebagai ketua.

Sepuluh tahun sebagai Wakil Ketua, kemudian tahun 2000, Kiai Nas dipercaya menjadi Ketua dalam Musyawarah Wilayah Muhammadiyah di Kabupaten Takalar, untuk periode 2000-2005. Mendampingi beliau sebagai sekretaris adalah Drs. H. Ashabul Kahfi, M.Ag., dosen Universitas Muhammadiyah Makassar, yang saat ini duduk sebagai anggota DPR RI.  Pada periode ini, hubungan saya dengan almarhum semakin dekat, lebih intens dan bertambah akrab. Selain sebagai staf, penulis boleh dikatakan pula bertindak sebagai ajudan atau asisten pribadi almarhum.

Dalam lima tahun kepemimpinan beliau, saya selalu diajak kemana saja beliau bepergian  keliling Sulawesi Selatan mengemban amanah umat. Bukan hanya sebagai sopir, juga mengedit makalahnya, serta membuatkan konsep pidato atau kata sambutan dalam berbagai kegiatan. Bersyukur sekali, ketika beliau bekenan menghadiri pernikahanku pada tanggal 10 Agustus 2003 di Somba Kabupaten Majene. Beliau datang bersama rombongan keluarga besar Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Saat itu, almarhum bertindak sebagai saksi pernikahan.

Dengan demikian, banyak hal saya saksikan atas segala tindakan, kebijaksanaan, dan menikmati pemikiran-pemikirannya. Dari kebersamaan ini, saya dapat mempelajari ilmu agama, keterampilan berorganisasi, dan seni menghadapi berbagai permasalahan hidup. Lebih dari itu, tentu tidak pada tempatnya jika saya harus memberikan penilaian terhadap kepribadiannya.

Adalah seorang dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin yang memberikan penilaian terhadap figur keulamaan seorang Kiai Nasruddin Razak. Beliau adalah Abdul Latif, yang telah terlebih dahulu menghadap ke haribaan Allah Swt. beberapa tahun yang lalu. Insya Allah husnul khatimah. Bang Latif ini, demikian kami biasa memanggilnya, pada awal tahun 2010 adalah mahasiswa program doktoral Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Dia cerdas, rajin dan telaten. Disertasinya mengambil kajian sejarah politik, dengan Kerajaan Sawitto Pinrang sebagai objek penelitiannya.

Kelak beliau menyelesaikan studinya tepat pada waktunya dan termasuk mahasiswa berprestasi sehingga memperoleh penghargaan dari Dekan Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan UKM. Saya sendiri baru terdaftar sebagai mahasiswa di UKM tahun 2011, ketika Bang Latif sudah memasuki tahun kedua. Awal Januari tahun 2011, beberapa hari setelah saya tiba di Malaysia, kami berdua sempat terlibat perbincangan di lorong lantai dasar flat dimana kami tinggal. Santai, tetapi sangat berkesan, dan bahkan sulit untuk dapat dipercaya. Sebelum ini, saya tidak mengenal beliau.

Mengetahui saya aktif di Muhammadiyah, beliau lantas menyinggung keberadaan Kiai Nas, yang saat itu,  bukan lagi sebagai Ketua Muhammadiyah. Baginya, Kiai Nas adalah sosok ulama langka, tiada duanya di Sulawesi Selatan. Sederhana, mumpuni, dan merakyat. Saya begitu menikmati kata-kata lelaki asal Pinrang ini. Sebagai catatan, beliau bukanlah warga atau kader Muhammadiyah. Bahkan kecenderungan praktik paham keagamaannya lebih dekat kepada Nahdlatul Ulama.

Sebagai orang yang pernah bersama dengan Kiai Nas selama lebih dari lima belas tahun, saya dapat merasakan apa yang dikatakan oleh Bang Latif. Saya menjadi saksi atas apa yang dia kemukakan. Semuanya benar, tidak mengada-ada. Akan tetapi, ada kalimatnya yang sangat menyentuh hati, membuat saya tersentak. Bahwa boleh jadi kalimat ini sungguh berlebihan, namun demikianlah apa yang dia sampaikan.

Meskipun redaksinya tidak persis sama lagi dengan apa yang dia katakan sepuluh tahun lalu tentang Kiai Nas, namun kira-kira bunyinya seperti ini: “Kiai Nas itu seorang ulama yang paling tawaduk di Sulawesi Selatan. Tidak ada yang lebih kuat ilmu agamanya dari beliau. Dia mengamalkan juga mengajarkannya. Saya yakin beliau akan masuk surga”.

Lebih lanjut, kalimat ini yang masih sangat membekas di benak saya, adalah: “Sekiranya nanti di akhirat ada ulama lain masuk surga, sedangkan Kiai Nas tidak, jika boleh saya akan protes kepada Tuhan. Bahkan apabila saya nanti masuk surga sedangkan Kiai Nas tidak, maka saya akan bermohon kepada Tuhan agar memberikan jatah surgaku kepada Kiai Nas!”. Wallahu’alam bishawab.

Wollongong, Australia, 07 Agustus 2021

Haidir Fitra Siagian

(Dosen Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar/Ketua PRIM NSW Australia).

 

Catatan : Artikel ini sudah pernah dimuat pada harian Tribun Timur Makassar edisi cetak, Senin, 09 Agustus 2021

https://makassar.tribunnews.com/epaper/#lg=1&slide=14


Keterangan foto : Kiai Nas mendampingi penulis memasuki Masjid Ridha Allah Somba Majene hari Ahad tanggal 10 Agustus 2003 (persis 18 tahun lalu).






Post a Comment

1 Comments

  1. The Star Sydney – The Star Sydney Casino Review - Dr.
    The Star Sydney Casino 계룡 출장안마 is a modern entertainment venue 경상남도 출장샵 with an exciting 춘천 출장안마 array of table games, live entertainment and a wide range 경주 출장안마 of 공주 출장샵 slots

    ReplyDelete

close