About Me

Doktor Nuklir, Subuhnya Senantiasa ke Masjid

 

(Foto: Kenangan saat tadarrus bersama ba'da Subuh)

Melepas Kepulangan Teman, Rujukan Salat Subuh di Masjid

 

Dari waktu ke waktu jumlah warga atau pelajar Indonesia yang tinggal di Kota Wollongong semakin berkurang. Para pelajar yang mengambil program magister dan doktor di University of Wollongong, sebagian sudah selesai menyusun tesis atau disertasi penelitiannya. Karena sudah selesai, tentu harus segera pulang ke tanah air meskipun belum sempat wisuda. Rata-rata masa studi teman-teman adalah lima hingga enam tahun.

Kemarin seorang teman, sebut saja namanya, Ayahnya Bagas, telah kembali pulang ke tanah air bersama dengan keluarganya. Dia berasal dari Malang Jawa Timur dan bekerja di Bandung Jawa Barat. Satu orang istri dan empat orang anak. Dua orang anaknya yang masih kecil adalah kelahiran Sydney, New South Wales. Usia keduanya masih balita. Sekedar informasi bahwa jika ada anak yang lahir di sini, peluang menjadi warga negara Australia itu lebih terbuka. Tentu di samping berbagai persyaratan lainnya.

Kepulangan sahabat yang mengambil program doktor bidang nuklir tersebut tentu memberikan perasaan sedih kepada kami. Pun kepada yang bersangkutan. Kebetulan sekali, selain seorang sahabat, mereka sekeluarga adalah tetangga kami. Saya bersahabat dengannya. Nyonyaku bersahabat akrab dengan istrinya. Pun anak-anak kami, adalah teman sepermainan. Sebagai tetangga, mereka sangat baik, sering memberikan makanan  dan lain-lain. Jadi dapat dikatakan ini adalah perpisahan yang sangat menyedihkan.

Saat kepulangannya kemarin, kami dari beberapa keluarga Indonesia turut mengantar kepulangannya. Karena masih dalam  suasana lockdown, kepulangan mereka hanya diantar sampai di belakang rumah saja, hingga mereka masuk ke dalam mobil sewa yang akan membawa mereka ke bandara. Biasanya, jika ada teman-teman yang pulang, ada di antara kami yang mengantar mereka sampai ke bandara Sydney, sekitar 90 km dari Wollongong. Namun kali ini keadaan tidak memungkinkan.

Kemarin pun saat mengantar kepulangannya, dilakukan dengan suasana yang sangat sederhana. Sebelum-sebelumnya jika ada teman yang akan pulang, selalu dibuatkan acara perpisahan. Ada kesempatan silaturahmi sambil makan-makan. Kemarin tidak bisa seperti itu. Bahkan untuk salaman dan berangkulan pun tidak bisa. Kami semua menjaga jarak aman, seperti dalam foto di atas. Jika ada yang sedikit berdekatan, itu adalah mereka yang dari satu keluarga.

Banyak cerita menarik di antara kami. Kebetulan sekali ayahnya Bagas ini, adalah pernah menjadi ketua komunitas warga Muslim Indonesia yang ada di kawasan Illawara atau Wollongong. Namanya JPI atau Jamaah Pengajian Illawara. Organisasi ini sifatnya tidak formal, hanya semacam kumpulan saja. Sebagian besar kegiatannya adalah pengajian dan silaturahmi sesama warga, serta menggalang dana untuk kegiatan sosial. Dia juga pernah jadi ketua panitia pemilihan luar negeri dalam pemilihan umum lalu di Sydney.

Selama beliau menjadi Ketua JPI, saya kebetulan diberi amanah sebagai sekretarisnya. Sebagian besar kegiatan kami adalah pengajian. Baik untuk bapak-bapak, ibu-ibu, maupun untuk anak-anak. Kami mengadakan tadarrus, membaca al Qur’an setiap hari Ahad. Sebelum wabah covid-19, kami adakan di Masjid Omar Wollongong. Ketika ada pembatasan dari pemerintah, pengajian diadakan secara virtual.

Pengajian ini sangat penting bagi kami dan warga Indonesia. Terdapat warga Indonesia yang baru belajar membaca Al Qur’an saat pengajian yang diadakan JPI. Dulunya mereka adalah pekerja yang datang ke sini dan menjadi warga negara atau permanen residen. Awalnya mereka tidak tahu mengaji, setelah ikut acara JPI, belajar dengan tekun, hingga bisa. Padahal usianya sudah menjelang tua. Alhamdulillah.

Khusus dengan ayahnya Bagas ini, bagi saya memiliki peran yang sangat penting. Beliau adalah contoh atau rujukan saya dalam melaksanakan salat Subuh berjamaah di Masjid Omar Wollongong. Masjid ini jauh dari rumah sekitar 800 meter. Bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar 10-15 menit. Atau naik bus gratis. Bisa juga dengan kenderaan sendiri.

Pada tiga bulan pertama ketibaan saya di Wollongong, pertengahan tahun 2019 lalu, bersamaan dengan musim dingin. Tentu suasana sangat dingin, baik siang, malam maupun subuh hari. Untuk siang hari, meskipun berada di terik matahari, kadang terasa masih sangat dingin. Itulah sebabnya, saya untuk salat subuh, melaksanakannya di rumah bersama keluarga. Apalagi saat itu, saya belum punya kendaraan sendiri.

Beberapa waktu kemudian, seorang teman menceritakan kepada saya, bahwa ayahnya Bagas itu, jika salah subuh selalu ke masjid. Meskipun dingin atau hujan gerimis, dia tetap ke masjid, dengan mengenderai mobilnya sendiri. Menurut cerita teman ini, kadang anaknya yang masih kecil pun dibawa ke masjid. Karena kami bertetangga, suatu subuh saya coba cek. Suara mobil siapa yang bunyi di luar. Ternyata memang mobilnya ayahnya Bagas yang akan ke masjid.

Lalu saya pun bertanya kepada anakku. Ayo kita juga salat subuh berjamaah di masjid. Dia bersedia. Walaupun awalnya memang terasa sangat dingin, diantisipasi dengan pakaian tebal dan berlapis. Juga kaos kaki dan syal rajut yang tebal juga. Akhirnya lama kelamaan menjadi terbiasa, tidak terasa dingin lagi. Insya Allah contoh yang diberikan ayahnya Bagas ini memberi manfaat bagi sesama. Wallahu’alam.

 

Wassalam

Keiraville, 05 September 2021

Haidir Fitra Siagian

Dosen UIN Alauddin Makassar / Ketua PRIM NSW Australia


Catatan :
Artikel ini sudah pernah tayang di media online

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Post a Comment

0 Comments

close